Menyingkat Lafazh Shalawat

Di antara salah satu cara memuliakan dan menghormati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan bershalawat kepada beliau. Allah ta’ala berfirman seraya memerintahkan kaum muslimin untuk bershalawat kepada beliau:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آَمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.

“Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. al-Ahzab: 56)

Bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki banyak keutamaan dan faedah. Di antaranya, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits berikut, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرًا.

“Barang siapa yang bershalawat kepadaku sekali saja, niscaya Allah akan bershalawat kepadanya sebanyak sepuluh kali.” (HR. Muslim no. 408)

Tiga generasi pertama umat ini, yakni sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in merupakan generasi utama begitu semangat dalam memuliakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menghidupkan sunnah-sunnahnya. Dalam hal bershalawat kepada beliau dengan lisan pun mereka tidak melalaikannya. Mereka berbuat demikian karena begitu cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga agar mereka tidak termasuk orang yang bakhil alias kikir atau pelit, sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

البَخِيْلُ مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ.

“Orang yang kikir adalah orang yang ketika namaku disebut di sisinya ia tidak bershalawat kepadaku.” (Hadits shahih. Lihat: Shahih al-Jami’, no. 2878, Shahih at-Tirmidzi, no. 3546, Misykat al-Mashabih, no. 933, dll.)

Selain bershalawat dengan lisan, dalam bentuk tulisan pun mereka tidak meremehkannya. Dan begitulah seterusnya generasi demi generasi berlalu, mereka semua tidak mengurangi sedikitpun dari hak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal shalawat baik dengan lisan maupun tulisan.

Sejarah Menyingkat Shalawat

Hingga akhirnya, pada awal abad ke-10 H muncullah segelintir orang yang mulai bermalas-malasan dan kikir dalam bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, khususnya dalam bentuk tulisan. Mereka menyingkat lafazh shalawat menjadi beberapa huruf saja. Akibat fatalnya, orang yang pertama kali menyingkat lafazh shalawat tersebut dipotong tangannya. Wal ‘iyadzu billah.

Di zaman yang telah jauh dari mereka ini, ketika kita membaca buletin, majalah atau buku yang bernafaskan islami, maka sangat sering sekali kita dapati para penulisnya menyingkat lafazh shalawat menjadi SAW. Yang lebih memperkeruh suasana, ada seorang ustadz yang mengaku sebagai pengikut dan pembela sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia ikut-ikutan pula meramaikan sunnah yang buruk ini bak orang awam lainnya. Semoga Allah memberikan hidayah kepadanya.

Oleh karena pentingnya masalah ini, yang mana banyak sekali dari kaum muslimin yang menyingkat lafazh shalawat dalam tulisan, maka sengaja akan kami bawakan dua fatwa ulama seputar permasalahan, agar kita dapat mengetahui hukum menyingkat lafazh shalawat kepada Nabi mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Fatwa Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi

Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi hafizhahullah pernah ditanya: “Apa hukumnya menulis huruf shad  (ص) atau semisalnya (termasuk saw, pen) sebagai pengganti lafazh shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Beliau menjawab: “Dewasa ini banyak orang menyingkatnya menjadi shad  (ص)sebagiannya lagi menulis shad lam ‘ain mim (صلعم), dan saya kira ada singkatan lainnya.

Semua singkatan ini tidak boleh dan tidak ada asal-usulnya. Akan tetapi hal ini terkadang mungkin/boleh (dilakukan), seperti seseorang yang menulis sebuah buku untuk diserahkan kepada penerbitan, kemudian dia menulis huruf shad  (ص)dan mengisyaratkan kepada penerbit agar ditulis ulang secara sempurna. Adapun apabila dia menulis sebuah makalah yang akan langsung disebarkan kepada orang-orang atau khalayak ramai, maka ini tidak boleh. Ini poin pertama.

Poin kedua, yang wajib pada kondisi seperti ini bukanlah sekedar (bershalawat) dengan tulisan, namun yang wajib adalah bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan lisan, yaitu ketika menyebut nama beliau. Sekarang, apabila saya membaca: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda…”, kita tidak wajib menulis lafazh shallallahu ‘alaihi wa sallam (صلى الله عليه وسلم), akan tetapi kita cukup melafazhkannya. Dengan demikian, saya telah mengangkat kewajiban atas diriku. Apabila saya menulisnya maka ini lebih sempurna. Akan tetapi hukumnya tidak wajib. Wallahu ta’ala a’lam. (Rekaman video dari www:kulalsalafiyeen.com)

Keterangan Syaikh Bakar Abu Zaid

Pada kitab Mu’jam al-Manahi al-Lafzhiyyah, karya Syaikh Bakar Abu Zaid rahimahullah, hlm. 339- 351 dikatakan: “(Disebutkan) pada kitab at-Tadzkirah at-Timuriyyah, tentang singkatan shad lam ‘ain mim (صلعم) adalah tidak boleh. Bahkan yang wajib adalah bershalawat dan mengucap salam. (Dari kitab) al-Fatawa al-Hadatsiyyah, karya Ibnu Hajar al-Haitami, jilid 1, hlm. 548 pada manuskrip dan hlm. 168 pada cetakan.

“Ini menunjukkan bahwa singkatan atau susunan kata yang dimurkai ini sudah ada sejak zaman Ibnu Hajar (al-Haitami). Sedangkan Ibnu Hajar wafat pada tahun 974 H. Dan sebelumnya al-Fairuz Abadi telah mengisyaratkan tentang hal ini dalam kitabnya ash-Shilat wa al-Buysr, ia berkata: “Tidak boleh lafazh shalawat (kepada nabi) disingkat seperti yang dilakukan oleh sebagian orang malas, bodoh dan penuntut ilmu yang masih awam, mereka menulis shad lam ‘ain mim (صلعم) sebagai ganti dari shallallahu ‘alaihi wa sallam (صلى الله عليه وسلم).

Tentang singkatan ini Syaikh Ahmad Syakir berkomentar: “Ini adalah istilah (singkatan) yang lemah.”

Pada kitab yang sama, hlm. 188-189 disebutkan: “Nampaknya singkatan ini sudah ada sekitar tahun 900 H. Telah diterangkan pada kitab Syarh Alfiyyah al-‘Iraqi fi Mushthalah al-Hadits, yaitu pada ucapan an-Nazhim:

وَاجْتَنِبِ الرَّمْزَ لَهَا وَالْحَذَفَا

Dan jauhilah kode (singkatan) untuk (shalawat dan salam kepada nabi) atau menghapusnya

Maksudnya, jauhilah singkatan shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau menghapus salah satu hurufnya. Akan tetapi tunaikanlah (shalawat) dengan ucapan dan tulisan. Kemudian pensyarah kitab tersebut, Syaikh Zakariya al-Anshari menyebutkan, bahwasanya Syaikh an-Nawawi telah menukil ijma’ dari para ulama akan sunnahnya bershalawat kepada nabi baik secala lisan maupun tulisan. Jadi, bukan termasuk sunnah menyingkat lafazh shalawat dengan huruf tertentu.”

Syaikh Bakar melanjutkan, “Kemudian Syaikh al-Anshari menyebutkan bahwa orang yang pertama kali menyingkat shalawat dengan huruf shad lam ‘ain mim (صلعم) dipotong tangannya, wal’iyadzu billah. Sementara itu Syaikh al-Anshari wafat pada abad ke-10 Hijriyah (yakni th. 926 H)”

Syaikh Bakar Abu Zaid juga berkata: “Maka itu, jalan keselamatan dan kecintaan yang berpahala dalam menghormati dan memuliakan Nabi umat ini adalah dengan bershalawat dan mengucapkan salam ketika nama beliau disebut, sebagai bentuk pelaksanaan terhadap perintah Allah subhanah dan petunjuk nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, seluruh bentuk lafazh dan kode untuk menyingkat shalawat dan salam kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dilarang.

Kesimpulan

Berikut beberapa poin penting dari pembahasan singkat di atas:

  1. Perintah bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  2. Anjuran memperbanyak shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  3. Disyariatkannya shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk lisan dan tulisan.
  4. Orang yang tidak bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika nama beliau disebut adalah orang yang kikir.
  5. Larangan menyingkat lafazh shalawat menjadi beberapa huruf saja.
  6. Termasuk larangan ini menyingkat lafazh subhanahu wa ta’ala menjadi SWT. Wallahu a’lam.
  7. Sunnah yang buruk ini (menyingkat lafazh shalawat) muncul pada permulaan abad ke-10 H.
  8. Hukuman yang berat bagi orang yang pertama kali membuka pintu sunnah yang buruk ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *