Sejak dahulu hingga sekarang, banyak orang yang memperbincangkan permasalahan seputar “Wali” lengkap dengan karomahnya. Yang satu menceritakan karomah Syaikh fulan, yang lainnya meriwayatkan karomah wali fulan. Meskipun sebenarnya mereka tidak mengetahui, apakah riwayat dan cerita itu benar terjadi ataukah tidak. Mereka sangat berpegang erat dengan semua itu dan meyakini bahwa orang-orang khusus tersebut adalah wali-wali Allah, dan kejadian luar biasa yang terjadi pada mereka adalah karomah. Hanya saja, keyakinan mereka itu tanpa didasari atau diperkuat dengan ilmu dan bukti yang pasti.
Fenomena ini, tidak diragukan lagi, merupakan keyakinan buruk yang dilarang oleh Syariat. Sebab berkata tentang sesuatu tanpa ilmu dan bukti, atau berpegang teguh dengan suatu keyakinan tanpa landasan, sama saja berkata atas nama agama tanpa ilmu dan dalil, yang dapat menyeret seseorang menuju kesudahan yang buruk di akhirat kelak. Inilah kehidupan mereka dari satu sisi.
Dari sisi yang lain, sebagian orang yang tidak diketahui ketakwaan dan kebaikan pada dirinya mengaku-ngaku dan mendakwakan diri sebagai kyai atau wali Allah, serta bahwasanya Allah telah memberikan karomah kepadanya. Demi untuk meyakinkan para pengikutnya, mereka berani berdemo dengan cara terbang di udara atau berjalan di atas air, menyembuhkan orang sakit, menurunkan atau menahan hujan, dan memperlihatkan kejadian luar biasa lainnya, hingga seolah-olah keadaan dirinya bagaikan Dajjal yang dapat menyuburkan padang tandus atau membuat tandus ladang yang subur.
Kalau memang demikian kondisinya, masyarakat awam yang belum memiliki pengalaman dan ilmu tentang itu, tentu sangat membutuhkan perisai untuk membentengi diri dan menimbang-nimbang antara perkara yang benar dan yang salah, agar mereka dapat membuang jauh-jauh mana yang salah dan batil, serta mau menerima yang benar dan haq. Sehingga, mereka benar-benar berada di atas keterangan dan bukti yang nyata.
Dari sisi yang lain lagi, sesungguhnya kita hidup di zaman yang penuh dengan khurafat dan kesyirikan, terutama yang berkaitan dengan masalah akidah yang salah satunya adalah masalah wali, siapakah wali sesungguhnya dan siapa wali yang palsu. Tentu saja kita tidak akan bisa mengetahui permasalahan ini, melainkan dengan mempelajari dan menelaahnya. Maka itu, kami akan mengupas secara ringkas hakikat wali Allah yang sebenarnya. Semoga dapat menjadi penerang bagi hati yang kurang terang, dan dapat membuka hati orang yang mau menerima dalil dari al-Qur`an dan sunah yang sahih.
DEFINISI WALI VERSI MASYARAKAT AWAM
Ketika kita turun ke tengah masyarakat awam, baik dari kalangan yang senang berziarah ke makam wali-wali -versi mereka- ataupun yang tidak suka tapi dangkal pemahaman agama, atau mayoritas muslim Indonesia, mereka memiliki definisi tersendiri tentang kata wali. Namun sayangnya, definisi itu hanya ada dalam kamus kecil mereka saja, tidak ada pada komunitas selain mereka.
Mereka menceritakan, wali Allah adalah orang mulia yang di atas kuburnya dibangun kubah besar yang penuh dengan hiasan berwarna-warni, atau seorang yang dikebumikan di dalam, di depan atau di samping masjid, yang mana kuburannya itu dijadikan sebagai objek ziarah plus wisata religi, siang malam ramai dengan peziarah yang datang dari segala penjuru kota dan desa, atau bahkan dari luar propinsi dan luar pulau. Kemudian para juru kunci makam keramat tersebut mengarang karomah-karomah palsu yang mereka sandarkan kepada wali versi mereka itu, dengan tujuan untuk mengais harta para peziarah dan memakannya dengan cara yang batil. Mereka juga menyatakan, wali Allah bisa terbang di udara atau berjalan di atas air, dapat menyembuhkan segala penyakit, dapat mengetahui hal gaib dan mereka memiliki ilmu-ilmu luar biasa lainnya.
Padahal kita tidak mengetahui dengan pasti, apakah di dalam makam itu benar-benar ada mayatnya atau tidak, atau apakah makam itu benar-benar makam atau hanya sekedar makam-makaman yang sengaja dibuat untuk mengelabui orang-orang awam dan menguras harta mereka dengan cara batil. Seandainya di dalamnya benar-benar ada mayat, belum tentu orang tersebut mau dijuluki sebagai wali Allah yang memiliki karomah yang aneh-aneh. Atau bahkan, ia berlepas diri dari segala label itu.
MELURUSKAN ISTILAH WALI
Makna wali versi masyarakat awam di atas harus diluruskan. Oleh karena itu, di bawah ini kami akan sebutkan istilah yang benar seputar makna wali, agar kita dapat mengetahui makna wali yang benar dengan dasar ayat al-Qur`an, hadis dan penjelasan para ulama.
Ditinjau dari segi bahasa, wali berarti penolong, yang mencintai, yang mengikuti, dan yang menaati. Sehingga dikatakan, seorang mukmin adalah wali Allah, yakni yang mencintai dan menaati Allah. (Mu’jam Maqayis al-Lughah, al-Mu’jam al-Wasithdan Lisan al-‘Arab, pada kata waw lam ya’)
Sedangkan dari segi istilah, marilah kita simak al-Qur`an berbicara tentang definisi wali. Allah ta’ala berfirman:
أَلاَ إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُوْنَ. الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَكَانُوْا يَتَّقُوْنَ
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. (QS. Yunus: 62 & 63)
Dalam hadis sahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ: مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِيْ يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِيْ بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِيْ َلأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِيْ َلأُعِيْذَنَّهُ.
Sesungguhnya Allah ta’ala berfirman: “Barang siapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku umumkan (izinkan) ia untuk diperangi. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu amalan yang lebih Aku sukai daripada amalan yang Aku wajibnkan atasnya. Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya, Aku akan menjadi pendengarannya yang ia mendengar dengannya, menjadi penglihatan yang ia melihat dengannya, menjadi tangan yang ia memukul dengannya, sebagai kaki yang ia berjalan dengannya. Apabila ia memohon kepada-Ku pasti akan Kuberi, dan jika ia memohon perlindungan kepada-Ku pasti Kulindungi.” (HR. al-Bukhari, no. 6502)
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkomentar tentang hadis tersebut: “Ini adalah hadis paling sahih yang menerangkan tentang wali “. (al-Furqan baina Auliya ar-Rahman wa Auliya asy-Syaithan, hal. 50, Cetakan Dar Thariq)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata ketika menafsirkan sabda Nabi, “Aku akan menjadi pendengarannya yang ia mendengar dengannya.…”: “Maknanya bahwasanya apabila seseorang menjadi wali Allah ‘azza wa jalla dan mengingat pertolongan Allah, Ia akan menjaga pendengarannya, sehingga pendengarannya akan mengikuti hal-hal yang diridai oleh Allah. Demikian pula pandangan, tangan, dan kakinya. Ada pula yang mengartikan, bahwasanya Allah akan meluruskan pendengaran, penglihatan, tangan, dan kakinya. Yakni, orang tersebut diberikan taufik pada apa yang ia lihat dan dengar serta ketika berjalan dan memegang. (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyyah, hal. 377, cetakan Dar ats-Tsurayya)
Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah seorang Imam ahli tafsir berkata: “Kata Auliya` adalah bentuk plural dari wali, yakni penolong.” Beliau melanjutkan: “Seorang wali, maksudku wali Allah, adalah orang yang tersifati dengan sifat yang telah Allah sebutkan (dalam ayat di atas), yaitu iman dan ketakwaan.” (Tafsir ath-Thabari, surat Yunus ayat 62 & 63)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Allah ta’ala mengabarkan, bahwa wali-wali-Nya adalah mereka yang beriman dan bertakwa.” Beliau juga berkata: “Jadi setiap orang yang bertakwa kepada Allah disebut sebagai wali Allah.” (Tafsir Ibn Katsir, surat Yunus ayat 62 & 63)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah bertutur: “Barang siapa yang beriman dan bertakwa, dialah wali Allah.”(Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyyah, Syaikh al-Utsaimin, hal. 380, Cetakan Dar al-Basharah al-Iskandariyyah)
Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah berkata: “Wali-wali Allah adalah orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah dengan amal (ibadah) yang dapat mendekatkan mereka kepada-Nya.” (Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 464)
Dari dua ayat, hadis dan penjelasan para ulama di atas dapat kita tarik garis kesimpulan, bahwa wali-wali Allah adalah, mereka yang beriman kepada Allah, kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, dan hari akhir, serta beriman kepada takdir baik dan buruk, selalu bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Inilah arti dari istilah wali yang asli dan sesungguhnya, wali Allah ‘azza wa jalla.
PERBEDAAN ANTARA WALI ALLAH DAN WALI SETAN
Perbedaan antara wali Allah (asli) dan wali setan (palsu) hampir tidak dapat diketahui oleh kebanyakan kaum muslimin, terutama dari kalangan awam mereka. Sampai-sampai banyak yang tertipu dan terkecoh, wali setan dan dajjal dianggap sebagai wali Allah, sedangkan wali Allah dikira sebagai wali setan. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengarang sebuah buku yang sangat berharga yang membahas total tentang masalah ini, beliau memberinya judul al-Furqan baina Auliya` ar-Rahman wa Auliya` asy-Syaithan (Pembeda antara wali Allah Yang Maha Pemurah dengan wali setan). Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِنْ تَتَّقُوْا اللَّهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيْمِ
Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, kami akan memberikan kepadamu al-Furqan. dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. dan Allah mempunyai karunia yang besar. (QS. al-Anfal: 29)
Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata: “al-Furqan artinya pembeda antara kebenaran dan kebatilan, yang mana Allah memberikan kepada mereka (orang-orang yang bertakwa) hidayah yang baik yang dapat mereka pergunakan untuk membedakan antara keduanya (haq dan batil) tatkala mereka merasa bimbang dan ragu.” (Fath al-Qadir, surat al-Anfal, ayat 29)
Berikut perbedaan mendasar antara wali Allah dengan wali setan:
1). Wali Allah adalah orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah, sedangkan wali setan tidak beriman kepada Allah apalagi bertakwa kepada-Nya.
Syaikhul Islam rahimahullah berkata: “Apabila sudah diketahui bahwa di antara manusia ada yang menjadi wali Allah dan wali setan, maka wajib dibedakan antara ini dan itu, sebagaimana Allah dan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membedakan keduanya. Wali-wali Allah adalah mereka yang beriman dan bertakwa. Allah berfirman:
أَلاَ إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُوْنَ. الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَكَانُوْا يَتَّقُوْنَ
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. (QS. Yunus: 62 & 63) (Al-Furqan, hal. 39)
2). Wali Allah adalah orang yang menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya, meniti jejak ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mencintainya secara lahir dan batin, meskipun mereka tidak mengaku-ngaku sebagai wali Allah, mereka adalah orang-orang mukmin yang saleh dan tulus dalam beragama. Adapun wali setan, mereka mengaku-ngaku cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, mengaku sebagai wali-wali-Nya, namun pada hakikatnya mereka tidak mengikuti ajaran nabi, bahkan membencinya. Merekalah orang-orang yang fasik dan munafik. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللَّهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ali Imran: 31)
Perihal ayat di atas, Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ayat mulia ini sebagai pemutus bagi setiap orang yang mengaku cinta kepada Allah (wali Allah), padahal dia tidak berada di atas metode Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berdusta dalam dakwaannya itu, sampai ia mengikuti syariat Muhammad dan agama Nabi pada setiap perbuatan dan perkataannya.”
Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata: “Suatu kaum mengaku-ngaku bahwa mereka mencintai Allah, maka Allah menguji mereka dengan ayat tersebut.” (Tafsir Ibn Katsir pada surat Ali ‘Imran ayat 31)
Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: “Sebagaimana ada di antara orang kafir yang mengaku sebagai wali Allah, padahal dia bukan wali Allah, bahkan dia adalah musuh Allah, begitu pula ada di antara golongan kaum munafik yang menampakkan keislaman, berikrar secara zhahir dengan persaksian bahwa tiada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah yang diutus kepada segenap manusia, bahkan kepada dua golongan, jin dan manusia, sementara itu mereka meyakini dalam hati-hati mereka dengan keyakinan yang kontra dengan itu semua. (Al-Furqan, hal. 62-63)
3). Bahwasanya wali Allah beriman dan berkeyakinan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi perantara antara Allah dan makhluk-Nya dalam menyampaikan risalah ini, adapun wali setan berkeyakinan bahwa ada wali tertentu yang memiliki jalur spesial untuk sampai kepada Allah dengan tanpa mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
4). Wali-wali setan amalan mereka penuh dengan perbuatan dosa dan pelanggaran, seperti kesyirikan, kezaliman, perbuatan keji, berlebih-lebihan atau bid’ah dalam hal ibadah. Oleh karenanya, setan turun untuk singgah dan menyertai mereka, sehingga mereka termasuk wali-wali setan bukan wali-wali Allah. Firman-Nya:
هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَى مَنْ تَنَزَّلُ الشَّيَاطِيْنُ. تَنَزَّلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيْمٍ. يُلْقُوْنَ السَّمْعَ وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُوْنَ
Maukah Aku beritakan kepadamu, kepada siapa setan-setan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa. Mereka menghadapkan pendengaran (kepada setan) itu, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta. (QS. asy-Syu’ara`: 221-223)
Berbeda dengan wali-wali Allah, mereka senantiasa beramal saleh, tidaklah mereka beribadah melainkan dengan tuntunan syariat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mereka jauh dari menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun. (al-Furqan, hal. 84)
5). Bahwasanya wali-wali Allah adalah orang-orang yang beriman dengan al-Qur`an dan syariat yang dibawa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengikuti sekaligus mengamalkan keduanya. Adapun wali-wali setan, terkadang mereka berzikir kepada Allah siang dan malam dengan begitu zuhudnya –zuhud versi mereka-, beribadah kepada-Nya dengan begitu antusiasnya, akan tetapi mereka tidak mengikuti tuntunan al-Qur`an dan sunah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beribadah. (al-Furqan, hal. 85)
Inilah beberapa perbedaan mendasar antara wali Allah dan wali setan. Dengan penjelasan ini, semoga akan menjadi terang bagi kita, mana wali Allah yang sebenarnya dan mana wali Allah yang palsu. Janganlah kita sampai tertipu dan memutarbalikkan fakta, atau terkecoh dengan tindakan segelintir orang yang tidak bertanggung jawab yang menamakan dirinya sebagai wali atau memberikan label wali kepada para penghuni kubur tertentu, padahal bisa saja penghuni kubur itu berlepas diri dari label yang disandangkan kepadanya. Semoga masyarakat awam dari kalangan kaum muslimin sadar dan mau kembali kepada ajaran al-Qur`an dan as-Sunnah dengan pemahaman salafush shalih umat ini. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Aamiin.